Latar Belakang Berdiri nya Pesantren Al-Hamidiyah
Dibawah ini adalah latar belakang berdirinya pesantren Al-hamidiyah Depok,dimana saya dulu pernah sekolah disana dan pendiri nya adalah tokoh yang saya kagumi dan patut di contoh,berikut cerita nya.
Latar Belakang Berdiri nya Pesantren Al-Hamidiyah,Depok.
Pesantren
Al-Hamidiyah didirikan pada tanggal 17 Juli 1988 oleh KH Achmad Sjaichu
untuk mewujudkan cita-cita luhurnya mengembangkan dunia pendidikan dan
dakwah Islamiah melalui pesantren. Dengan basis keilmuan pesantren yang
diperkaya dengan berbagai pengalaman yang menyertai perjalanan hidupnya,
KH. Achmad Sjaichu menekuni dunia pesantren dengan konsep dan kesadaran
yang lebih maju. Melalui pesantren, KH. Achmad Sjaichu ingin mengkader
da'i dan ulama yang berwawasan luas dan memiliki kedalaman ilmu.
Pesantren
Al-Hamidiyah merupakan salah satu wujud dari harapan dan keinginan yang
sudah lama dicita-citakan oleh KH. Achmad Sjaichu (Almarhum). Pesantren
Al-Hamidiyah didirikan pada tanggal 17 Juli 1988 untuk mewujudkan
keinginan yang besar dalam menangani pengembangan dan pelestarian
kegiatan pendidikan dan dakwah.
KH.
Achmad Sjaichu mengharapkan dunia pesantren bisa menjadi penutup bagi
perjalanan panjang kehidupannya, setelah ditinggalkan selama hampir 40
tahun terhitung sejak ia meninggalkan pesantren Al-Hidayah, Lasem. Dalam
kurun waktu selama 40 tahun (1950-1980) KH Achmad Sjaichu terjun dalam
dunia politik dan bergiat dalam Jam'iyah Nahdatul Ulama. Dalam bidang
tersebut, KH Achmad Sjaichu berhasil membukukan berbagai prestasi. Di
bidang politik, KH Achmad Sjaichu mencapai karir yang cukup terhormat,
yaitu dengan menjadi ketua DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong), yang kini berubah menjadi DPR RI.
Dengan
basis keilmuan pesantren yang diperkaya dengan berbagai pengalaman dan
peristiwa yang menyertai perkembangan kehidupannya itulah, KH Achmad
Sjaichu menemukan kembali dunia pesantren yang pernah ditinggalkannya
dalam konsep dan kesadaran yang lebih maju. Melalui pesantren, KH Achmad
Sjaichu ingin mengkader da'i dan ulama yang berwawasan luas dan
memiliki kedalaman ilmu. Kesadaran baru itu muncul dari hasil pemahaman
menyeluruh tentang makna kehadiran para juru dakwah dan ulama
ditengah-tengah masyarakat yang bergerak maju dan cepat.
KH
Achmad Sjaichu merasakan keprihatinan yang mendalam atas kenyataan
makin langkanya ulama dan juru dakwah, baik dari segi kuantitas karena
banyaknya ulama yang wafat, maupun segi kualitas karena sistem
pendidikan dan pengajaran dalam lembaga pesantren yang masih harus lebih
disempurnakan lagi. Menurutnya, para juru dakwah dan ulama perlu
dipersiapkan sejak dinidengan seperangkat ilmu dan keterampilan yang
cukup untuk menyertai perkembangan kehidupan modern yang kian kompleks.
KH Achmad Sjaichu kemudian teringat kembali akan keprihatinan dan
kekhawatiran yang pernah dirasakan Rasulullah SAW belasan abad yang
silam tentang kondisi umatnya yang kehilangan pemimpin dari kalangan
ulama. Rasulullah bersabda ;
"Sesungguhnya
Allah tidak menghilangkan ilmu dengan mencabutnya secara serentak, akan
tetapi Dia menghilangkan ilmu dengan cara mewafatkan ulama. Sehingga
ketika sudah tak tersisa seorang pun ulama, manusia mengangkat
orang-orang bodoh menjadi pemimpin. Ketika ditanya, mereka memberikan
fatwa tanpa ilmu. Mereka tidak hanya sesat tetapi juga menyesatkan". (H.R. Bukhari-Muslim dari Ibnu Abbas)
Namun
KH Achmad Sjaichu tidak tenggelam dan hanyut dalam keprihatinan
semata-mata. Ia optimis dapat mewujudkan keinginannya mendirikan
pesantren sebagai jawaban atas keprihatinan dan kekhawatiran tersebut.
Sebab Nasyrul Ilmi (pengembangan ilmu pengetahuan) bukan semata-mata
menjadi keinginan manusia, tetapi juga mendapat jaminan dari Allah SWT.
Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda;
"Barang
siapa dikehendaki Allah menjadi orang baik, niscaya Ia (Allah) memberi
kedalaman ilmu di bidang agama (Islam). Sesungguhnya saya sekedar
membagi ilmu dan Allah yang memberinya. Tidak henti-hentinya umatku
menegakkan kebenaran sesuai perintah Allah. Orang-orang yang
menentangnya tidak akan mendatangkan madlarat bagi mereka hingga datang
ketetapan Allah (kiamat)". (H.R.empat imam dari Mu'awiyah)
Motivasi
yang besar untuk mendirikan sekaligus menjadi pengasuh pesantren juga
mendapat dorongan dari istrinya (almarhumah) Ny. Hj. Solchah Sjaichu.
Sebelum wafatnya tanggal 24 Maret 1986, Ny. Hj. Solchah terus mendorong
agar rencana mendirikan pesantren itu segera diwujudkan.
Atas
dasar itu, bulatlah tekad untuk mendirikan pesantren. Kebetulan pada
saat yang sama, ada sebidang tanah di daerah Depok di jual dengan harga
relatif murah. Tanah yang berlokasi di daerah Rangkapan Jaya, Pancoran
Mas, Kota Depok, Jawa Barat itu, akhirnya dibeli pada tahun 1980. Di
atas tanah inilah, pesantren yang menjadi idamannya dan idaman istrinya,
didirikan. Karena beberapa kesibukan dan persiapan yang belum cukup,
pembangunan pesantren itu tertunda. Baru pada tahun 1987, dengan
disaksikan para ulama dan tokoh masyarakat, Menteri Agama H. Munawir
Sjadzali meletakan batu pertama, mengawali pembangunan pesantren. Oleh
KH Achmad Sjaichu pesantren itu diberi nama Al-Hamidiyah, dinisbatkan
dengan nama ayahandanya, H. Abdul Hamid. Pesantren Al-Hamidiyah kemudian
dimasukan dalam daftar unit kerja di lingkungan Yayasan Islam
Al-Hamidiyah.
Secara
fisik, bangunan pesantren Al-Hamidiyah dirancang dan ditangani langsung
pengawasannya oleh Ir. H. Mochamad Sutjahjo Sjaichu, putra ketiga KH
Achmad Sjaichu. Bersamaan dengan itu dilakukan pula perencanaan berbagai
program pendidikan di bawah koordinasi (Almarhum) DR. H. Fahmi D.
Saifuddin, MPH, wakil ketua Yayasan Islam Al-Hamidiyah pada saat itu,
yang juga menantu KH Achmad Sjaichu.
Sementara
pembangunan fisik berjalan, persiapan pembukaan pesantren juga
dilakukan. Rapat-rapat Yayasan kemudian menghasilkan keputusan perlunya
segera dibentuk suatu badan pengelola. Maka dicarilah tenaga-tenaga yang
siap untuk menjalankannya. Seperangkat kepengurusan dipersiapkan, dan
tepat tanggal 17 Juli 1988, pondok Pesantren Al-Hamidiyah dibuka. Pada
saat itu, pesantren menerima murid pertama 150 siswa untuk Madrasah
Aliyah, dan 120 untuk Madrasah Tsanawiyah. Dari jumlah tersebut, 75
santri putra dan 40 santri putri bermukim di asrama, sedang lainnya
pulang pergi.
Menteri
Agama RI H. Munawir Sadzali kembali menjadi saksi bagi pembukaan
kegiatan perdana pesantren Al-Hamidiyah. Dalam pidato sambutan peresmian
pembukaan pesantren, menteri antara lain menyatakan rasa syukur dan
penghargaan yang tinggi atas dibangunnya pesantren Al-Hamidiyah depok
oleh KH Achmad Sjaichu. Pendirian pondok pesantren sejalan dengan usaha
Menteri Agama yang saat itu mengadakan proyek percontohan pendidikan
madrasah dengan materi pendidikan terdiri dari 70% substansi agama dan
25% substansi umum yang disebut MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus).
Pada
acara peresmian yang dihadiri alim ulama, pemerintah, dan tokoh
masyarakat itu, Menteri Agama lebih jauh menyatakan, program yang
menekankan pengajaran bidang studi agama adalah jawaban atas kelangkaan
ulama yang sedang dirasakan umat Islam dewasa ini, khususnya di
Indonesia. Dan membangun pondok pesantren bukan sekedar membangun
bangunan fisik belaka. Tapi lebih dari itu, adalah membangun manusia,
mempersiapkan ulama yang mampu menjawab tantangan zaman.
sumber: www.alhamidiyah.com
Komentar
Posting Komentar